Beranda | Artikel
DIMARAHI ATAU DIBIARKAN?
Rabu, 12 Oktober 2022

Salah satu masalah yang sering menjadi polemik di masjid atau majlis taklim adalah keberadaan anak-anak kecil. Di satu sisi kita menginginkan anak-anak tersebut akrab dengan masjid dan majlis taklim. Sehingga kelak merekalah yang menjadi generasi penerus kebaikan. Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa tingkah polah mereka lumayan ‘mengganggu’ kekhusyuan ibadah.

Menghadapi fenomena ini, ada dua kubu yang bertolak belakang dalam menyikapinya.

Kubu pertama hobi memarahi anak-anak kecil tersebut. Kerap membentak mereka. Atau minimal memelototi mereka. Seakan mereka adalah hama yang harus diberantas. Akibatnya anak-anak tersebut pun menjadi tidak betah di masjid. Bahkan sebagian mereka menjadi fobia dengan majlis taklim.

Adapun kubu kedua, sangat memaklumi tingkah polah anak-anak itu. Seheboh apapun kelakuan mereka, dibiarkan saja. “Toh memang itu masanya”, demikian komentar yang terlontar. Akibatnya tidak sedikit jamaah yang mengeluh sulit konsentrasi dalam mengaji dan shalat.

Sikap yang tepat

Keberadaan anak kecil di masjid itu sudah lazim sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Perilaku anak di zaman itu juga tidak berbeda jauh dengan zaman ini. Sama-sama masih suka bermain. Bagaimanakah baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyikapi mereka di masjid?

Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu menuturkan,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى لِلنَّاسِ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِى الْعَاصِ عَلَى عُنُقِهِ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami shalat sambil menggendong cucunya; Umamah binti Abi al-‘Ash di pundaknya. Bila beliau akan sujud, maka anak tersebut diturunkannya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam pun ternyata membawa anak kecil ke masjid. Namun beliau bertanggungjawab. Tidak lepas tangan. Beliau pegangi cucunya, bahkan beliau gendong. Agar tidak mengganggu jama’ah yang lainnya.

Tetapi bagaimanapun kedisiplinan orang tua, tetap saja ada saatnya lepas kontrol. Anak berpolah. Di saat itulah kesabaran yang berperan. Mari kita simak kejadian berikut,

Syaddad radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Di suatu shalat Isya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang sambil membawa Hasan atau Husain. Beliau maju ke pengimaman dan meletakkan cucunya lalu bertakbiratul ihram. Di tengah shalat, beliau sujud lama sekali. Karena penasaran, Syaddad mengangkat kepalanya untuk mencari tahu. Ternyata sang cucu naik ke pundak Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sujud. Syaddad pun kembali sujud. Seusai shalat, jamaah bertanya, “Wahai Rasulullah, tadi engkau sujud lama sekali. Hingga kami mengira ada kejadian buruk atau ada wahyu yang turun padamu”. Beliau menjawab,

كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ

“Bukan itu yang terjadi. Tetapi tadi cucuku menjadikan punggungku sebagai tunggangan. Aku tidak suka memutus kesenangannya hingga dia puas”. HR. Nasa’iy dan dinilai sahih oleh al-Hakim.

Kesimpulan

Orang tua yang membawa serta anaknya ke masjid harus bertanggung jawab. Bertugas untuk mengkondisikan dan memberikan pengertian kepada anak. Namun proses pendidikan itu harus dilakukan dengan penuh kelembutan dan kesabaran.

Sehingga anak tidak kapok untuk berangkat ke masjid atau majlis taklim. Di waktu yang sama, keberadaan mereka juga tidak membuat jamaah lain terganggu. Ingat, maslahat orang banyak harus diprioritaskan ketimbang maslahat pribadi. Wallahu a’lam bish shawab.

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Ahad, 10 Rajab 1440 / 17 Maret 2019
Abdullah Zaen


Artikel asli: https://tunasilmu.com/dimarahi-atau-dibiarkan/